Aktivist Perjuangan Kurniawan MH |
Oleh : Kurniawan MH
Aktivits Perjuangan
Jurnalis Muslim merupakan sosok
juru dakwah (da’i) di bidang pers, yakni mengemban da’wah
bil qolam (dakwah melalui tulisan). Ia adalah jurnalis yang
terikat dengan nilai-nilai, norma, dan etika Islam.
Sebab juru dakwah menebarkan kebenaran
Ilahi, maka jurnalis Muslim laksana “penyambung lidah” para Nabi dan Ulama.
Karenanya dituntut memiliki sifat-sifat kenabian, seperti Shidiq, Amanah,
Tabligh, dan Fathonah.
Shidiq artinya benar, yakni
menginformasikan yang benar saja dan membela serta menegakkan kebenaran itu.
Standar kebenarannya tentu saja kesesuaian dengan ajaran Islam (al-Quran dan
as-Sunnah).
Amanah artinya terpercaya, dapat
dipercaya, karenanya tidak boleh berdusta, memanipulasi atau mendistorsi fakta,
dan sebagainya.
Tabligh artinya menyampaikan, yakni
menginformasikan kebenaran, tidak menyembunyikannya. Sedangkan fathonah artinya
cerdas dan berwawasan luas. Jurnalis Muslim dituntut mampu menganalisis dan membaca
situasi, termasuk membaca apa yang diperlukan umat.
Jurnalis Muslim bukan saja para
wartawan yang beragama Islam dan komit dengan ajaran agamanya, melainkan juga
para cendekiawan Muslim, ulama, mubaligh, dan umat Islam pada umumnya yang
mampu menulis di media massa.
Seorang jurnalis Muslim wajib
mendakwahkan Islam meski hanya satu ayat. Apalagi, tulisan seorang jurnalis
akan dibaca oleh ribuan bahkan mungkin jutaan umat. Jika benar yang ditulisnya,
maka pahala besar telah menantinya. Sebaliknya, jika salah dengan disengaja,
maka neraka siap melahapnya.
Rasulullah bersabda, “Siapa
saja yang menyeru pada kebaikan di dalam Islam, baginya pahala atas perbuatan
baiknya itu dan pahala dari orang-orang yang mengikuti jejak kebaikannya itu
tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka.Siapa saja yang menyeru pada
keburukan di dalam Islam, baginya dosa atas perbuatan buruknya itu dan dosa
dari orang-orang yang mengikuti jejak keburukannya itu tanpa mengurangi
sedikitpun dosa mereka.” (HR. Muslim).
Setiap Muslim berkewajiban
mendakwahkan kebenaran Islam, apalagi jika ia seorang jurnalis Muslim, sudah
tentu harus menjadikan profesi jurnalisnya sabagai media meraih ridhaNya.
Dakwah di zaman ini tentu tidak hanya melalui mimbar masjid, tapi jauh lebih
besar peluangnya berdakwah melalui media.
Allah telah menyiapkan balasan yang
sempurna bagi seorang Muslim yang mendakwahkan Islam kepada manusia. Rasulullah
Saw bersabda, “Wahai
Ali, sungguh sekiranya Allah memberi hidayah kepada seseorang karena dakwahmu,
itu lebih baik bagimu daripada unta merah.” (HR.
Bukhari-Muslim).
Label seorang jurnalis Muslim itu
melekat pada semua wartawan dan seluruh pengelola media selama mereka seorang
Muslim. Terlepas di media berasas apa mereka bekerja. Yang pasti selama mereka
seorang Muslim, maka andil apa yang dilakukannya sebagai seorang Muslim kelak
akan dimintai pertanggungjawabannya, bukan di media apa dia bekerja.
Karena pentingnya dakwah Bil
Qalam ini, sampai-sampai pakar peradaban Islam mengatakan bahwa
menulis atau dakwah Bil
Qalam adalah bagian dari bentuk jihad fi
sabilillah. Jadi, betapa ruginya jika ada seorang Muslim yang
berprofesi sebagai jurnalis, tetapi tidak mau tahu terhadap segala macam
tuduhan miring yang ditimpakan kepada Islam dan umatnya.
Menurut Jalaluddin Rakhmat Peranan Jurnalis Muslim ada lima diantaranya sebagai berikut;
Pertama, Pendidik (Muaddib). Maksudnya, melaksanakan fungsi edukasi yang Islami. Ia harus lebih
menguasai ajaran Islam di atas rata-rata khalayak pembaca. Lewat media massa,
ia mendidik umat Islam agar melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi
laranganNya. Ia memikul tugas mulia untuk mencegah umat Islam berperilaku yang
menyimpang dari syariat Islam, juga melindungi umat dari pengaruh buruk media
massa non-Islami yang anti-Islam.
Kedua, Pelurus Informasi
(Musaddid). Setidaknya ada tiga hal yang harus
diluruskan oleh para jurnalis Muslim. Pertama, informasi tentang ajaran dan
umat Islam. Kedua, informasi tentang karya-karya atau prestasi umat Islam.
Ketiga, lebih dari itu jurnalis Muslim dituntut mampu melakukan investigative reporting tentang
kondisi umat Islam di seluruh penjuru dunia.
Peran Musaddid terasa relevansi dan
urgensinya mengingat informasi tentang Islam dan umatnya yang datang dari pers
barat biasanya bias (menyimpang, berat sebelah) dan distorsif, manipulatif,
alias penuh rekayasa untuk memojokkan Islam yang tidak disukainya. Di sini,
jurnalis Muslim dituntut berusaha mengikis fobi Islam (Islamophobia) yang
merupakan produk propaganda pers barat yang anti-Islam.
Ketiga, Pembaharu
(Mujaddid). Yakni penyebar paham pembaharuan
akan pemahaman dan pengamalan ajaran Islam (reformisme Islam). Jurnalis Muslim
hendaknya menjadi “jurubicara” para pembaharu, yang menyerukan umat Islam
memegang teguh al-Quran dan as-Sunnah, memurnikan pemahaman tentang Islam dan
pengamalannya (membersihkannya dari bid’ah, khurafat, tahayul, dan isme-isme
asing non-Islami), dan menerapkannya dalam segala aspek kehidupan umat.
Keempat, Pemersatu
(Muwahid). Yaitu harus mampu menjadi jembatan
yang mempersatukan umat Islam. Oleh karena itu, kode etik jurnalistik yang
berupa impartiality (tidak memihak pada golongan tertentu dan menyajikan dua
sisi dari setiap informasi atau both side information) harus ditegakkan.
Kelima, Pejuang
(Mujahid). Yaitu pejuang-pembela Islam.
Melalui media massa, jurnalis Muslim berusaha keras membentuk pendapat umum
yang mendorong penegakkan nilai-nilai Islam, menyemarakkan syiar Islam,
mempromosikan citra Islam yang positif dan rahmatan lil’alamin, serta
menanamkan ruhul jihad di kalangan umat.
Peran kelima ini, yaitu sebagai
Mujahid, sebenarnya “menyimpulkan keempat peran sebelumnya.” Dengan kelima
peran itulah seorang jurnalis Muslim mesti berbuat semaksimal mungkin untuk
memperjuangkan nilai-nilai Islam agar diamalkan seluruh umat Islam.