Peran Jurnalis Muslim Dalam Dakwah

Aktivist Perjuangan Kurniawan MH


Oleh : Kurniawan MH
Aktivits Perjuangan

Jurnalis Muslim merupakan sosok juru dakwah (da’i) di bidang pers, yakni mengemban da’wah bil qolam (dakwah melalui tulisan). Ia adalah jurnalis yang terikat dengan nilai-nilai, norma, dan etika Islam. 

Sebab juru dakwah menebarkan kebenaran Ilahi, maka jurnalis Muslim laksana “penyambung lidah” para Nabi dan Ulama. Karenanya dituntut memiliki sifat-sifat kenabian, seperti Shidiq, Amanah, Tabligh, dan Fathonah.

Shidiq artinya benar, yakni menginformasikan yang benar saja dan membela serta menegakkan kebenaran itu. Standar kebenarannya tentu saja kesesuaian dengan ajaran Islam (al-Quran dan as-Sunnah). 
Amanah artinya terpercaya, dapat dipercaya, karenanya tidak boleh berdusta, memanipulasi atau mendistorsi fakta, dan sebagainya.

Tabligh artinya menyampaikan, yakni menginformasikan kebenaran, tidak menyembunyikannya. Sedangkan fathonah artinya cerdas dan berwawasan luas. Jurnalis Muslim dituntut mampu menganalisis dan membaca situasi, termasuk membaca apa yang diperlukan umat.

Jurnalis Muslim bukan saja para wartawan yang beragama Islam dan komit dengan ajaran agamanya, melainkan juga para cendekiawan Muslim, ulama, mubaligh, dan umat Islam pada umumnya yang mampu menulis di media massa.

Seorang jurnalis Muslim wajib mendakwahkan Islam meski hanya satu ayat. Apalagi, tulisan seorang jurnalis akan dibaca oleh ribuan bahkan mungkin jutaan umat. Jika benar yang ditulisnya, maka pahala besar telah menantinya. Sebaliknya, jika salah dengan disengaja, maka neraka siap melahapnya.

Rasulullah bersabda, “Siapa saja yang menyeru pada kebaikan di dalam Islam, baginya pahala atas perbuatan baiknya itu dan pahala dari orang-orang yang mengikuti jejak kebaikannya itu tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka.Siapa saja yang menyeru pada keburukan di dalam Islam, baginya dosa atas perbuatan buruknya itu dan dosa dari orang-orang yang mengikuti jejak keburukannya itu tanpa mengurangi sedikitpun dosa mereka.” (HR. Muslim).

Setiap Muslim berkewajiban mendakwahkan kebenaran Islam, apalagi jika ia seorang jurnalis Muslim, sudah tentu harus menjadikan profesi jurnalisnya sabagai media meraih ridhaNya. Dakwah di zaman ini tentu tidak hanya melalui mimbar masjid, tapi jauh lebih besar peluangnya berdakwah melalui media.

Allah telah menyiapkan balasan yang sempurna bagi seorang Muslim yang mendakwahkan Islam kepada manusia. Rasulullah Saw bersabda, “Wahai Ali, sungguh sekiranya Allah memberi hidayah kepada seseorang karena dakwahmu, itu lebih baik bagimu daripada unta merah.” (HR. Bukhari-Muslim).

Label seorang jurnalis Muslim itu melekat pada semua wartawan dan seluruh pengelola media selama mereka seorang Muslim. Terlepas di media berasas apa mereka bekerja. Yang pasti selama mereka seorang Muslim, maka andil apa yang dilakukannya sebagai seorang Muslim kelak akan dimintai pertanggungjawabannya, bukan di media apa dia bekerja.

Karena pentingnya dakwah Bil Qalam ini, sampai-sampai pakar peradaban Islam mengatakan bahwa menulis atau dakwah Bil Qalam adalah bagian dari bentuk jihad fi sabilillah. Jadi, betapa ruginya jika ada seorang Muslim yang berprofesi sebagai jurnalis, tetapi tidak mau tahu terhadap segala macam tuduhan miring yang ditimpakan kepada Islam dan umatnya.

Menurut Jalaluddin Rakhmat Peranan Jurnalis Muslim ada lima diantaranya sebagai berikut;

Pertama, Pendidik (Muaddib). Maksudnya, melaksanakan fungsi edukasi yang Islami. Ia harus lebih menguasai ajaran Islam di atas rata-rata khalayak pembaca. Lewat media massa, ia mendidik umat Islam agar melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi laranganNya. Ia memikul tugas mulia untuk mencegah umat Islam berperilaku yang menyimpang dari syariat Islam, juga melindungi umat dari pengaruh buruk media massa non-Islami yang anti-Islam.

Kedua, Pelurus Informasi (Musaddid). Setidaknya ada tiga hal yang harus diluruskan oleh para jurnalis Muslim. Pertama, informasi tentang ajaran dan umat Islam. Kedua, informasi tentang karya-karya atau prestasi umat Islam. Ketiga, lebih dari itu jurnalis Muslim dituntut mampu melakukan investigative reporting tentang kondisi umat Islam di seluruh penjuru dunia.

Peran Musaddid terasa relevansi dan urgensinya mengingat informasi tentang Islam dan umatnya yang datang dari pers barat biasanya bias (menyimpang, berat sebelah) dan distorsif, manipulatif, alias penuh rekayasa untuk memojokkan Islam yang tidak disukainya. Di sini, jurnalis Muslim dituntut berusaha mengikis fobi Islam (Islamophobia) yang merupakan produk propaganda pers barat yang anti-Islam.

Ketiga, Pembaharu (Mujaddid). Yakni penyebar paham pembaharuan akan pemahaman dan pengamalan ajaran Islam (reformisme Islam). Jurnalis Muslim hendaknya menjadi “jurubicara” para pembaharu, yang menyerukan umat Islam memegang teguh al-Quran dan as-Sunnah, memurnikan pemahaman tentang Islam dan pengamalannya (membersihkannya dari bid’ah, khurafat, tahayul, dan isme-isme asing non-Islami), dan menerapkannya dalam segala aspek kehidupan umat.

Keempat, Pemersatu (Muwahid). Yaitu harus mampu menjadi jembatan yang mempersatukan umat Islam. Oleh karena itu, kode etik jurnalistik yang berupa impartiality (tidak memihak pada golongan tertentu dan menyajikan dua sisi dari setiap informasi atau both side information) harus ditegakkan.

Kelima, Pejuang (Mujahid). Yaitu pejuang-pembela Islam. Melalui media massa, jurnalis Muslim berusaha keras membentuk pendapat umum yang mendorong penegakkan nilai-nilai Islam, menyemarakkan syiar Islam, mempromosikan citra Islam yang positif dan rahmatan lil’alamin, serta menanamkan ruhul jihad di kalangan umat.

Peran kelima ini, yaitu sebagai Mujahid, sebenarnya “menyimpulkan keempat peran sebelumnya.” Dengan kelima peran itulah seorang jurnalis Muslim mesti berbuat semaksimal mungkin untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam agar diamalkan seluruh umat Islam.


Kematian Gadis Remaja Dibully

Anak dibully


Neropong Pena, - Kematian Nadia alias SN, Siswi SMPN 147 Jakarta setelah lompat dari lantai 4 gedung sekolahnya di Cibubur, Jakarta Timur, kini masih berselimut misteri sebab belum ada pihak yang memastikan apakah bunuh diri atau dibully.

Kisah seorang gadis belia usianya baru 14 tahun duduk dikelas IX. Gadis ini biasa disapa kawan-kawanya Nadila, sebagai gadis menjelang usia remaja Nadila mempunyai mimpi yang sama dengan kawan-kawan sebaya yang lain.

Ingin menjadi murid berprestasi berada di pergaulan lingkungan yang baik Nadila punya saudara serta orang tua yang selalu berada di dekatnya. Nadila mempunyai cita-cita yang tinggi. Meski  prestasi disekolah akademiknya tidak begitu terlihat, namun dia punya bakat luar biasa, yang tidak semua orang seusianya miliki.
.
Bakat Nadila menggambar. ia sering meluangkan waktu untuk menggoreskan pinsil di atas kertas, membuat sketsa wajah seorang, juga karya-karya berbentuk Anime sesuai karakter usianya. dia bercita-cita ingin menjadi komikus handal kelak.

Namun mimpi Nadila seolah tak bisa terwujud seluruhnya. Anak bungsu dari tiga bersaudara ini harus menerima kenyataan bahwa orangtuanya memutuskan bercerai. Lalu beberapa bulan yang lalu, tepatnya Maret 2019 Ibunya meninggal dunia.

Nadila yang sepertinya sangat dekat dengan Ibunya ini, seolah harus memaksakan diri untuk menahan sedihnya. Dia sangat kehilangan sosok yang menjadi panutannya. Batinnya tak siap, tapi harus menerima ,lagi-lagi kerinduan pada sosok Ibunya hanya bisa ia tuangkan dalam sketsa gambar.

Setelah ditinggal ibunya, sehari-hari Nadila pun tinggal bersama Ayah dan dua kakaknya. Tak ada yang tahu, bagaimana hubungan dia dengan keluarganya itu ? Hanya ia merasa, setelah ditinggal Ibunya hidupnya semakin sepi. Dan keadaan semakin tak menguntungkan baginya, manakala teman-teman di sekolahnya pun seolah menunjukkan sikap yang tak respek padanya. Bullyan secara verbal, terasa dialami. Dan itu menumpuk di pikirannya dari hari ke hari.

Hingga suatu hari, Nadila merasa dirinya lelah di sekolah. Dia merasakan ada yang kurang enak di badannya. Saat istirahat sekolah, ia memberi tahu temannya ingin beristirahat sejenak di ruang UKS sekolah. Di ruangan itu Nadila tidur, sendirian. Berusaha menghilangkan rasa sakitnya. Tidurnya cukup pulas.

Hingga ketika terbangun, ia mendapati sekolahnya sudah sepi. Ternyata saking lamanya dia tertidur di ruang UKS saat jam istirahat, tak sadar kalau waktu belajar di sekolahnya sudah habis. Nadila langsung menuju kelasnya, untuk mengambil tasnya yang tertinggal di sana. Tapi kelasnya pun sudah sepi, dan ia tak menemukan tasnya. Akhirnya didapati, kalau tasnya sudah disita oleh guru, yang marah karena Nadila tidak berada di kelas saat jam pelajaran sudah dimulai kembali. Guru itu baru bisa mengizinkan Nadila mengambil tasnya di hari besoknya, sambil ditemani orang tua.

Nadila pun panik. Ia membayangkan kemarahan ayahnya kalau sampai tahu dia mendapat hukuman di sekolah, dan harus mendatangkan orangtuanya ke sekolah. Pasti ayahnya akan sangat marah, bahkan tak segan-segan memukulinya. Di balik kepanikan itu, Nadila pun memendam rasa kecewa dan marah yang besar pula kepada teman-temannya di kelas. Gak ada satupun temannya, yang memberi tahukan ke guru, bahwa ia sedang sakit, dan sedang beristirahat di ruang UKS.

Entah, pikiran seperti apa yang menggelayut di benak Nadila saat itu. Mungkin ia merasa beban hidupnya sudah terlalu berat. Ia capek. Ia ingin istirahat selamanya. Ya, saat itu Nadila terpikir untuk mengakhiri hidupnya yang ia rasakan semakin sia-sia. Rencana yang sebetulnya sudah muncul di benaknya sejak lama. Setidaknya, dari goresan gambarnya, Nadila pernah menuliskan 'I want to die'.

Tanpa ragu, Nadila melangkahkan kakinya menuju lantai paling atas gedung sekolahnya. Dia berdiri di sisi salah satu tembok beberapa saat, memastikan tidak ada orang yang melihatnya. Lalu dia mengirimkan pesan untuk teman-temannya yang ia katakan sebagai 'salam perpisahan'.

Di situ pun Nadila berani ungkapkan kekecewaannya. Dan ia sudah tak peduli lagi dengan apa kata teman-temannya. Yang ada di pikirannya adalah, segera lompat dari ketinggian bangunan sekolah. Tak ada yang bisa mencegah.

"Buuuuuuum", sepersekian detik saja, tubuh Nadila sudah mendarat jatuh ke lapangan sekolahnya. Suaranya mengagetkan semua orang yang masih berada di sana. Mereka pun histeris melihat tubuh Nadila yang terluka parah dan bersimbah darah. Tak ada yang menyangka dengan aksi Nadila yang super nekat itu. Melihat Nadila masih bernafas, pihak sekolah segera membawanya ke rumah sakit terdekat.

Namun karena penanganannya kurang maksimal, Nadila dilarikan lagi ke rumah sakit lain yang lebih besar. Sayang, usaha untuk menyelamatkan nyawa Nadila itu tak berhasil. Nadila akhirnya tak tertolong dan menghembuskan nafas terakhirnya. Dia benar-benar pergi meninggalkan keluarganya, teman-temannya, gurunya, dengan setumpuk rasa kecewa.

Peristiwa Nadila ini memang mengejutkan kita semua. Sontak saja, pembahasan tentang aksi bullying di sekolah kembali menyeruak. Meski pihak sekolah membantah bahwa Nadila korban bullying, namun nyatanya Nadila memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, setelah mengalami kekecewaan yang luar biasa di sekolah.

Saya sendiri jujur saja, masih kurang percaya kalau ada sekolah yang bebas dari aksi bullying di antara murid-muridnya. Ini hampir terjadi di setiap sekolah, sudah menjadi budaya, dan sulit hilang. Mungkin di depan guru, mereka bisa terlihat baik dan biasa-biasa saja, namun kenyataan di baliknya, sungguh di luar dugaan. Serangan-serangan bully itu pasti tak terhindarkan. Dari yang main secara fisik hingga yang verbal, melalui ucapan-ucapan bernada kasar dan hinaan.

Namun saya tetap tak boleh pesimis, bahwa tindakan bullying di sekolah tak bisa dicegah. Dan ini tugas yang berat bagi pihak sekolah. Pun peran orangtua juga tak bisa lengah. Paling tidak, orang tua harus tahu tentang masalah anak-anaknya di sekolah.

Harus bisa memahami 'tanda-tanda' yang ditunjukkan anak, apakah dia sedang baik-baik saja, atau malah sebaliknya. Orangtua juga mungkin harus mau menjadi teman curhat yang baik bagi anak, menjadi pendengar yang baik, dan tidak sering menghakimi anak dengan kata-kata yang menyalahkan.

Anak itu tidak ada yang sempurna. Pasti ada sebagian sikapnya yang menuntut orangtuanya untuk banyak sabar. Tapi percayalah, anak yang tumbuh dalam pengawasan orang tua yang baik, dia tak akan sampai hati melukai perasaan orangtuanya, juga melukai dirinya sendiri..

Semoga kisah Nadila ini, bisa menjadi pembelajaran berharga untuk para orang tua, khususnya yang punya anak usia belia, Jangan ciptakan jarak yang jauh antara anak dengan orang tua. Dekatilah mereka, rangkul mereka, dan yakinkan bahwa mereka akan selalu merasa aman saat berada di dekat orang tua.


Edi Ubaidilah Sih Penjelajah Nusantara



Foto: Neropong Pena 
Neropong Pena, - Edi Ubaidilah (39) lahir di Kampung Rawa Kalieung, kec. Leuwisari, kab Tasikmalaya, sejak remaja sudah menggeluti perjalanan ke hutan yang ada diberbagai provinsi dan bersama komunitasnya menelusuri gunung, hutan dan lautan menjadi pemburuh.

Berjuta pengalaman Ia dapati saat berkunjung ke hutan, gunung dan lautan hingga pengalaman baik dan buruk. Kesehari-harian Edi adalah pengusaha makanan ringan (Makroni, Mie Jepang). Ia mengeluti usaha makan ringan sudah cukup lama dari usia remaja, bakat pengalaman berdagang Edi pelajari dari pamannya Ade Taqiyuddin yang kini menjadi penusaha sukses di Singaparna.
Bapak anak tiga ini mempunyai 2 putri dan 1 putra ia tinggal bersama keluarganya di desa Kampung Belentuk Singaparna.

Pengalaman Jelajahi Hutan

Hobi penjelajah Hutan menjadi kebiasaan Edi, jika pulang dari hutan banyak yang Ia dibawa dari hasil buruan berupa Kijang, Rusa, Ayam Hutan, Kelinci, dan Ikan. Bahkan jika ada orang kota yang ingin minta jasanya ia dilayani, tidak sedikit meminta jasa Edi untuk menemani ke hutan-hutan di wilayah Indonesia, ini merupakan hasil dari pergaulan komunitasnya.

Pemandu 

Sejumlah pengalaman buruannya ia jejaki seperti di daerah Gunung Muir di Tasikmalaya, Hutan Citingil di Cilacap, Gunung Sawal di daerah Panjalu  Jawa Barat, Gunung Lumbung Desa Singajaya kec Cikajang kab Garut, Hutan Sancang Garut. Curug Cikajayaan,Taman Wisata Alam Gunung Tampomas di utara wilayah Kabupaten Sumedang, Laut Pangandaran di Ciamis Jawa Barat, Pantai Batu Karas Pangandaran, Jawa Barat, Laut di Nusakambangan Jawa Tengah.

Pengalaman Menakutkan

Edi pernah bertemu manusia Raksasa saat pengalaman berkunjung ke hutan di Tasikmalaya saat menjelang malam hari, Ia bersama rekan-rekan komunitasnya penasaran dengan kabar di hutan tersebut, 

Ada manusia raksasa, Karena rasa penasaran Ia dan rekan-rekannya menelusuri hutan belentara itu pada malam harinya, akhirnya bertemu dengan manusia raksasa yang kira-kira ketingginannya 4 meter setinggi pohon besar yang ada di hutan itu. Tetapi saat berjumpa dengan manusia raksasa justru raksasa itu malah pergi meninggalkan ia dan kawan-kawannya. 



Permen Shatawi, Menarik Hati Kaum Pemuda di Gaza

Neropong Pena, Saat musim dingin tiba semua jenis (penganan ringan) manisan terhidang dan memenuhi rumah-rumah dan pertokoan di Jalur Gaza.

Kousha, Shatawi atau Ras al-Abed adalah nama-nama hidangan penutup makan di Palestina yang terkenal dan mengambil hati kaum muda dan orang tua, tanpa kecuali.

Shatawi adalah salah satu manisan populer yang dikenal di Jalur Gaza dan juga di beberapa kota Palestina lainnya di Tepi Barat yang diduduki penjajah Israel. Shatawi dibuat dengan komponen sederhana. Komponen utamanya adalah biskuit sebagai alas bundar, krim di atasnya, dan lapisan cokelat yang renyah.

Pembuatan Shatawi di Palestina dimulai 30 tahun yang lalu, dan saat ini ada puluhan pabrik yang memproduksi Shatawi hanya di musim dingin saja.

Permen Shatawi Buatan Warga Gaza


Pembuatan Shatawi

Bahan utama Shatawi terdiri dari putih telur kering, yang dilarutkan dan dimasukkan ke dalam air selama 12 jam. Kemudian ditambahkan sirup yang berdiri campuran; air, gula, dan glukosa.

Pembuatan Shatawi dimulai dengan menyiapkan sirup yang terdiri dari gula, air dan glukosa. Kemudian masuk ke proses pencampuran semua bahan yang sudah disiapkan ke dalam mixer. Kemudian krim disiapkan dan dituangkan di atas biskuit bulat sebagai dasarnya, kemudian ditutup dengan lapisan coklat. Kemudian potongan Shatawi masuk ke proses pendinginan. Selanjutnya potongan-potongan itu dibungkus, dikemas dan disiapkan untuk dijual.

Shatawi dikenal karena harganya yang murah, sehingga dapat dijangkau oleh semua orang. Satu potong Shatawi berharga setengah shekel, dan satu karton dijual seharga 6 shekel (satu setengah dolar).

Banyak keluarga Gaza menjadikan Shatawi sebagai hadiah sederhana selama melakukan kunjungan atau silaturahmi ke sanak famili, mengingat harganya yang murah dan kondisi kehidupan yang sulit di Jalur Gaza akibat blokade yang sudah berlangsung selama belasan tahun.

Pengiriman Pertama ke Luar Negeri

Pada akhir Desember 2019 lalu, untuk pertama kalinya, Jalur Gaza mulai mengekspor Shatawi 100% buatan lokal ke negara-negara Teluk dalam jumlah besar. Demikian seperti dinyatakan oleh Departemen Hubungan Masyarakat dan Media di pos penyeberangan Karam Abu Salem.

Ini adalah pertama kalinya komoditas pangan yang diproduksi di Jalur Gaza diizinkan diekspor ke luar negeri. Biasanya Gaza hanya diperbolehkan mengekspor produk pertanian, seperti stroberi, tomat, dan mentimun ke luar negeri.

Sekitar 8 ton Shatawi dimuat ke sebuah truk yang meninggalkan Jalur Gaza melalui penyeberangan Karam Abu Salem melalui penyeberangan Allenby menuju Yordania lalu ke Bahrain.

Pada gilirannya, Sarayo al-Wadia for Food Industries mengeluarkan pernyataan pers yang isinya mengatakan bahwa groupnya telah berhasil mengekspor pengiriman pertama Shatawi yang dibuat di pabrik-pabriknya di Jalur Gaza, dengan tujuan untuk memasarkan produk lokal ke pasar-pasar dunia.

Sarayo al-Wadia mengatakan, bahwa ini adalah pertama kalinya groupnya, dan sebagai perusahaan pertama di Gaza, yang telah berhasil mengekspor produk makanan nasional ke pasar luar negeri. (Info Palestina)

Jumat Berkah, Pedagang Nasi Uduk Bersedekah


Foto: Neropong Pena 

Neropong Pena, Ditengah meningkatnya sejumlah harga Sembilan Pokok atau yang biasa kita kenal “Sembako” merangkak naik dan nilai rupiah melemah akibat barang impor menurun. Kebutuhan ekonomi meningkat membuat warga  Indonesia lebih berhemat, Justru sebaliknya yang dilakukan Bapak 4 anak ini lebih banyak bersedekah di hari Jumat. 

Munawar asal Purwodadi Jawa Tengah sudah cukup lama tinggal jalan alternatif Cibubur, perkampungan Nagrak, Ia dagang nasi uduk, lontong sayur dan gorengan mangkal di jalan alternatif Cibubur, setiap menjelang waktu subuh Munawar bersama istrinya Hartati menyiapkan dagangannya.

Mangkal ditepian jalan, dengan membawa gerobak dan terpal agar tidak kepanas dan kehujanan Munawar dan Hartati menjajak dagangannya untuk calon pembeli, kebanyak dari mereka warga yang melintas baik pejalan kaki, pengendara motor, mobil bahkan ada sebagian warga yang sudah menjadi langganan sarapan disini. 

Sejak setahun lebih Munawar berdagang disini sebelum Munawar bekerja serabutan (apa saya dilakukan) untuk membiayai anak dan Istrinya. "Alhamdulilah sudah delapan tahun tinggal di Cibubur,” ujar Munawar. 

60 tahun lebih, usia yang tidak muda lagi. namun Munawar tidak patah semangat berdagang. Ia jualan nasi uduk sudah 1 tahun lebih, sebelumnya tidak cukup ramai dikunjungi orang, namun ada saja orang yang melintas dan menghampir untuk membeli sarapan pagi.

Ketika ditanya oleh Pena Jurnalis, Kenapa kalau hari Jumat dagangannya di gratiskan? 

Munawar: saya ingin berbagi kepada sesama, sebab harta yang saya miliki ini hanya milik Allah dan akan kembali kepada-Nya. Sebelumnya kalau hari Jumat selalu libur, tetapi sekarang ini  untuk mengisi waktu libur di hari Jumat, Munawar dan istri kalau hari Jumat ingin berbagi sedekah sarapan "Nasi Uduk, Lontong Sayur dan Gorengan". kepada setiap pejalan kali atau pengendar yang melintas.

Disaat ekonomi Indonesia sedang dipersulit tetapi tidak membuat jerah Munawar untuk bersedekah. Betapa sulitnya kebutuhan ekonomi hingga sebagian warga ada yang lebih menghemat pengeluaran, Justru sebaliknya yang dilakukan warga Cibubur ini terobsesi untuk bersedekah.

Sebagian ulama menganjurkan sedekah di hari Jumat mengingat keutamaannya. Sedekah di Hari Jumat memiliki keistimewaan khusus dibandingkan hari yang lain. seperti perbandingan antara sedekah di bulan Ramadan dengan sedekah dilain bulan Ramadan. 

Syaikhul Islam  Ibnu Taimiyyah rahimahullah; Apabila beliau berangkat jumatan, beliau membawa apa yang ada di rumah, baik roti atau yang lainnya, dan beliau sedekahkan kepada orang di jalan diam-diam. 

Saya pernah mendengar Beliau mengatakan, “Apabila Allah memerintahkan kita untuk bersedekah sebelum menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallammaka bersedekan sebelum menghadap Allah lebih afdhal dan lebih besar keutamaannya.” (Zadul Ma’ad, 1/407).

Karena itu, tradisi di masyarakat kita dengan memberikan sedekah setiap hari jumat atau jumatan, InsyaaAllah termasuk tradisi yang baik. Meskipun kita menganjurkan agar semacam ini tidak dibatasi selama hari jumat saja.  Termasuk, tidak membatasi hanya diberikan untuk masjid saja. Banyak masjid di sekitar kita dananya melimpah sementara di sebelahnya ikhwan kita yang lebih membutuhkan bantuan.







Peran Jurnalis Muslim Dalam Dakwah