Anak dibully |
Neropong
Pena, - Kematian Nadia alias SN, Siswi
SMPN 147 Jakarta setelah lompat dari lantai 4 gedung sekolahnya di Cibubur,
Jakarta Timur, kini masih berselimut misteri sebab belum ada pihak yang
memastikan apakah bunuh diri atau dibully.
Kisah seorang gadis belia usianya baru 14 tahun duduk dikelas IX. Gadis ini biasa disapa kawan-kawanya Nadila, sebagai gadis menjelang usia remaja Nadila mempunyai mimpi yang sama dengan kawan-kawan sebaya yang lain.
Ingin menjadi murid berprestasi berada
di pergaulan lingkungan yang baik Nadila punya saudara serta orang tua yang
selalu berada di dekatnya. Nadila mempunyai cita-cita yang tinggi. Meski
prestasi disekolah akademiknya tidak begitu terlihat, namun dia punya bakat
luar biasa, yang tidak semua orang seusianya miliki.
.
Bakat Nadila menggambar. ia sering
meluangkan waktu untuk menggoreskan pinsil di atas kertas, membuat sketsa wajah
seorang, juga karya-karya berbentuk Anime sesuai karakter
usianya. dia bercita-cita ingin menjadi komikus handal kelak.
Namun mimpi Nadila seolah tak bisa
terwujud seluruhnya. Anak bungsu dari tiga bersaudara ini harus menerima
kenyataan bahwa orangtuanya memutuskan bercerai. Lalu beberapa bulan yang lalu,
tepatnya Maret 2019 Ibunya meninggal dunia.
Nadila yang sepertinya sangat dekat
dengan Ibunya ini, seolah harus memaksakan diri untuk menahan sedihnya. Dia
sangat kehilangan sosok yang menjadi panutannya. Batinnya tak siap, tapi harus
menerima ,lagi-lagi kerinduan pada sosok Ibunya hanya bisa ia tuangkan dalam sketsa
gambar.
Setelah ditinggal ibunya, sehari-hari
Nadila pun tinggal bersama Ayah dan dua kakaknya. Tak ada yang tahu, bagaimana
hubungan dia dengan keluarganya itu ? Hanya ia merasa, setelah ditinggal Ibunya
hidupnya semakin sepi. Dan keadaan semakin tak menguntungkan baginya, manakala
teman-teman di sekolahnya pun seolah menunjukkan sikap yang tak respek padanya.
Bullyan secara verbal, terasa dialami. Dan itu menumpuk di pikirannya dari hari
ke hari.
Hingga suatu hari, Nadila merasa
dirinya lelah di sekolah. Dia merasakan ada yang kurang enak di badannya. Saat
istirahat sekolah, ia memberi tahu temannya ingin beristirahat sejenak di ruang
UKS sekolah. Di ruangan itu Nadila tidur, sendirian. Berusaha menghilangkan
rasa sakitnya. Tidurnya cukup pulas.
Hingga ketika terbangun, ia mendapati
sekolahnya sudah sepi. Ternyata saking lamanya dia tertidur di ruang UKS saat
jam istirahat, tak sadar kalau waktu belajar di sekolahnya sudah habis. Nadila
langsung menuju kelasnya, untuk mengambil tasnya yang tertinggal di sana. Tapi
kelasnya pun sudah sepi, dan ia tak menemukan tasnya. Akhirnya didapati, kalau
tasnya sudah disita oleh guru, yang marah karena Nadila tidak berada di kelas
saat jam pelajaran sudah dimulai kembali. Guru itu baru bisa mengizinkan Nadila
mengambil tasnya di hari besoknya, sambil ditemani orang tua.
Nadila pun panik. Ia membayangkan
kemarahan ayahnya kalau sampai tahu dia mendapat hukuman di sekolah, dan harus
mendatangkan orangtuanya ke sekolah. Pasti ayahnya akan sangat marah, bahkan tak
segan-segan memukulinya. Di balik kepanikan itu, Nadila pun memendam rasa
kecewa dan marah yang besar pula kepada teman-temannya di kelas. Gak ada
satupun temannya, yang memberi tahukan ke guru, bahwa ia sedang sakit, dan
sedang beristirahat di ruang UKS.
Entah, pikiran seperti apa yang
menggelayut di benak Nadila saat itu. Mungkin ia merasa beban hidupnya sudah
terlalu berat. Ia capek. Ia ingin istirahat selamanya. Ya, saat itu Nadila
terpikir untuk mengakhiri hidupnya yang ia rasakan semakin sia-sia. Rencana
yang sebetulnya sudah muncul di benaknya sejak lama. Setidaknya, dari goresan
gambarnya, Nadila pernah menuliskan 'I want to die'.
Tanpa ragu, Nadila melangkahkan kakinya
menuju lantai paling atas gedung sekolahnya. Dia berdiri di sisi salah satu
tembok beberapa saat, memastikan tidak ada orang yang melihatnya. Lalu dia
mengirimkan pesan untuk teman-temannya yang ia katakan sebagai 'salam
perpisahan'.
Di situ pun Nadila berani ungkapkan
kekecewaannya. Dan ia sudah tak peduli lagi dengan apa kata teman-temannya.
Yang ada di pikirannya adalah, segera lompat dari ketinggian bangunan sekolah.
Tak ada yang bisa mencegah.
"Buuuuuuum", sepersekian
detik saja, tubuh Nadila sudah mendarat jatuh ke lapangan sekolahnya. Suaranya
mengagetkan semua orang yang masih berada di sana. Mereka pun histeris melihat
tubuh Nadila yang terluka parah dan bersimbah darah. Tak ada yang menyangka
dengan aksi Nadila yang super nekat itu. Melihat Nadila masih bernafas, pihak
sekolah segera membawanya ke rumah sakit terdekat.
Namun karena penanganannya kurang
maksimal, Nadila dilarikan lagi ke rumah sakit lain yang lebih besar. Sayang,
usaha untuk menyelamatkan nyawa Nadila itu tak berhasil. Nadila akhirnya tak
tertolong dan menghembuskan nafas terakhirnya. Dia benar-benar pergi
meninggalkan keluarganya, teman-temannya, gurunya, dengan setumpuk rasa kecewa.
Peristiwa Nadila ini memang mengejutkan
kita semua. Sontak saja, pembahasan tentang aksi bullying di sekolah kembali
menyeruak. Meski pihak sekolah membantah bahwa Nadila korban bullying, namun
nyatanya Nadila memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, setelah mengalami
kekecewaan yang luar biasa di sekolah.
Saya sendiri jujur saja, masih kurang
percaya kalau ada sekolah yang bebas dari aksi bullying di antara
murid-muridnya. Ini hampir terjadi di setiap sekolah, sudah menjadi budaya, dan
sulit hilang. Mungkin di depan guru, mereka bisa terlihat baik dan biasa-biasa
saja, namun kenyataan di baliknya, sungguh di luar dugaan. Serangan-serangan
bully itu pasti tak terhindarkan. Dari yang main secara fisik hingga yang
verbal, melalui ucapan-ucapan bernada kasar dan hinaan.
Namun saya tetap tak boleh pesimis,
bahwa tindakan bullying di sekolah tak bisa dicegah. Dan ini tugas yang berat
bagi pihak sekolah. Pun peran orangtua juga tak bisa lengah. Paling tidak,
orang tua harus tahu tentang masalah anak-anaknya di sekolah.
Harus bisa memahami 'tanda-tanda' yang
ditunjukkan anak, apakah dia sedang baik-baik saja, atau malah sebaliknya.
Orangtua juga mungkin harus mau menjadi teman curhat yang baik bagi anak,
menjadi pendengar yang baik, dan tidak sering menghakimi anak dengan kata-kata
yang menyalahkan.
Anak itu tidak ada yang sempurna. Pasti
ada sebagian sikapnya yang menuntut orangtuanya untuk banyak sabar. Tapi
percayalah, anak yang tumbuh dalam pengawasan orang tua yang baik, dia tak akan
sampai hati melukai perasaan orangtuanya, juga melukai dirinya sendiri..
Semoga kisah Nadila ini, bisa menjadi
pembelajaran berharga untuk para orang tua, khususnya yang punya anak usia
belia, Jangan ciptakan jarak yang jauh antara anak dengan orang tua. Dekatilah
mereka, rangkul mereka, dan yakinkan bahwa mereka akan selalu merasa aman saat
berada di dekat orang tua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar